Jumat, 28 September 2012

Sejarah Teater di Indonesia


PERKEMBANGAN TEATER DI INDONESIA

          Tradisi teater sudah ada sejak dulu dalam masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan sudah adanya teater tradisional di seluruh wilayah tanah air. Fungsi teater pada saat itu adalah sebagai:
1.    pemanggil kekuatan gaib,
2.    menjemput roh pelindung untuk hadir di tempat pertunjukan,
3.    memanggil roh baik untuk mengusir roh jahat,
4.    peringatan nenek moyang dengan mempertontonkan kegagahan/kepahlawanan,
5.    pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat hidup seseorang, dan
6.    pelengkap upacara untukk saat tertentu dalam siklus waktu.

A.    Teater Rakyat (tradisional)
          Teater tradisional atau Teater Rakyat, lahir di tengah-tengah rakyat dan masih menunjukkan kaitan dengan upacara adat dan keagamaan. Artinya pertunjukan hanya dilaksanakan dalam kaitan dengan upacara tertentu, seperti khitanan, perkawinan, selamatan dan sebagainya. Yang menanggung semua pembiayaan adalah yang punya hajat dan dapat ditonton gratis oleh undangan dan masyarakat. Tempat pertunjukan dapat dimana saja; halaman rumah, kebun, balai desa, tanah lapang dan seterusnya. Contoh-contoh teater rakyat adalah sebagai berikut:
1)    Makyong dan Mendu di daerah Riau dan Kalimantan Barat,
2)    Randai dan Bakaba di Sumatera Barat,
3)    Mamanda dan Bapandung di Kalimantan Selatan,
4)    Arja, Topeng Prembon, dan Cepung di Bali,
5)    Ubrug, Banjet, Longser, Topeng Cirebon, Tarling, dan Ketuk Tilu di Jawa Barat,
6)    Ketoprak, Srandul, Jemblung, Gatoloco di Jawa Tengah,
7)    Kentrung, Ludruk, Ketoprak, Topeng Dalang, Reyog, dan Jemblung di Jawa Timur,
8)    Cekepung di Lombok,
9)    Dermuluk di Sumatera Selatan dan Sinlirik di Sulawesi Selatan,
10)    Lenong, Blantek, dan Topeng Betawi di Jakarta dan sebagainya,
11)    Randai di Sumatera Barat.

B.    Teater Klasik (keraton)
          Sifat teater ini sudah mapan, artinya segala sesuatunya sudah teratur, dengan cerita, pelaku yang terlatih, gedung pertunjukan yang memadai dan tidak lagi menyatu dengan kehidupan rakyat (penontonnya). Lahirnya jenis teater ini dari pusat kerajaan. Sifat feodalistik tampak dalam jenis teater ini. Para seniman dihidupi oleh raja dengan menjadi pegawai kerajaan yang mendapat tugas religius dan tugas mengangkat kebesaran atau kemuliaan sang raja. Contohnya Wayang Kulit, Wayang Orang, Wayang Golek, dan Langendriya. Ceritanya statis, tetapi memiliki daya tarik berkat kreatifitas dalang atau pelaku teater tersebut dalam menghidupkan lakon.


C.    Teater Modern
         Teater modern merupakan teater yang bersumber dari teater tradisional, tetapi gaya penyajiannya sudah dipengaruhi oleh teater Barat. Jenis teater seperti Komedi Stambul, Sandiwara Dardanela, Sandiwara Srimulat, dan sebagainya merupakan contoh teater modern. Dalam Srimulat sebagai contoh, pola ceritanya sama dengan Ludruk atau Ketoprak, jenis ceritanya diambil dari dunia modern. Musik, dekor, dan properti lain menggunakan teknik Barat.
Dari contoh-contoh di atas, nyatalah bahwa teater sudah membudaya dalam kehidupan bangsa kita. Dalam teater, penonton tidak hanya disuguhi pengetahuan tentang baik/buruk, dan indah/jelek, tetapi ikut menyikapi dan melihat action. Kalau mungkin, jika siswa-siswa berteater, mereka melaksanakan tiga matra tujuan mengajar menurut Bloom, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sebab itulah penggunaan teater dalam media pendidikan semakin populer.


Menurut Sumardjo (2004:101) periodisasi teater modern adalah:
    1.    Masa perintisan (1885-1925)
           a.    teater bangsawan (1885-1902)
           b.    teater stamboel (1891-1906)
           c.    teater opera (1906-1925)
    2.    Masa kebangkitan (1925-1941)
           a.    teater Miss Riboet’s Oreon (1925)
           b.    teater Dardanela opera (1926-1934)
           c.    Awal teater modern di Indonesia (1926)
     3.    Masa perkembangan (1942-1970)
           a.    Teater zaman Jepang
           b.    Teater tahun 1950-an
           c.    Teater tahun 1960-an
D.     Masa Teater mutakhir (1970-1980-an)
              Akhir-akhir ini banyak keluhan karena bengkrutnya group-group teater tradisional. Di zaman modern ini para pengelola group kesenian dituntut kemampuan yang lebih canggih, tidak hanya kemampuan dalam bidang kesenian atau penyutradaraan. Kemampuan manajemen perusahaan, kemampuan pemasaran, kemampuan psikologi massa untuk membaca selera penonton sangat diperlukan. Seniman-seniman teater tradisional kini juga sudah semakin sedikit jumlahnya karena ditinggalkan oleh mereka yang senior. Nama-nama besar seperti Cokro Jiyo, Markuat, Atmonadi, Basiyo, Narto Sabdo, dan sebagainya kini telah tiada. Siswo Budoyo dengan Siswondo dan Jusuf Agil juga mengalami kehancuran karena dua tokoh itu telah tiada.

           Kini kita berpaling ke drama-drama modern yang menggunakan naskah. Kiranya sukses drama tradisional dalam kemandiriannya tidak dapat diwarisi oleh grup-grup drama modern. Walaupun begitu kehadiran mereka dalam khasanah sastra Indonesia merupakan fenomena yang tidak dapat dilupakan. Kita kenal nama-nama besar seperti Bengkel Teater, Teater Populer, Teater Starka, Teater Alam, dan sebagainya. Profesionalisme dalam berkesenian belum cukup untuk menjawab tantangan jaman. Dibutuhkan pengelola keuangan dan organisator yang mampu memanjangkan nafas hidup group-group teater modern. Paling tidak teater modern membutuhkan impresario atau tokoh semacam itu.

          Di berbagai kota, banyak dramawan-dramawan muda yang masih memiliki idealisme tinggi meneruskan kegiatan berteater meskipun secara finansial tidak menjajikan perbaikan nasib. Di Surakarta, kehidupan Taman Budaya Surakarta (TBS) dimotori oleh dramawan-dramawan muda, seperti Hanindrawan, Sosiawan Leak, dan dramawan-dramawan muda dari 9 fakultas di UNS, serta dari perguruan tinggi lain di Surakarta.

         Teater-teater sekolah marak tumbuh. Begitu juga teater di perguruan tinggi. Setiap fakultas biasanya memiliki group teater karena ditunjang oleh dana kemahasiswaan yang memadai. Hal ini menyebabkan lahirnya dramawan-dramawan muda yang penuh idealisme dan banyak berpikir pentas yang disertai dengan diskusi-diskusi tentang drama dan teater. Pertanyaannya, seberapa besar peran kita (teater kampus) dalam dunia perteateran Indonesia?

3 komentar: